Archive

Seo Services

Politik, Cinta, dan Luka: Sebuah Renungan dari Pasuruan

Sabtu, Agustus 30, 2025

1. Suara dari Gubuk Pasuruan

Di Kabupaten Pasuruan, seorang tokoh dari DPC Partai Bulan Bintang duduk di hadapan kader masyarakat. Ucapannya tidak lahir dari ambisi, melainkan dari cinta dan keprihatinan. Ia berbicara bukan sebagai politisi yang haus kuasa, tetapi sebagai seorang anak bangsa yang menyadari betapa rapuhnya negeri ini jika ditinggalkan tanpa ketenangan dan kedewasaan berpolitik.

Di jalan yang penuh dengan suara dan kabar yang saling bertabrakan katanya ada bisikan kebenaran yang sering kali tertelan oleh gemuruh kebohongan. Jangan biarkan hati kalian terbakar oleh api fitnah. Bersabarlah, sebab kedewasaan berpolitik bukan diukur dari seberapa cepat kalian bereaksi, melainkan dari seberapa kuat kalian mampu menahan diri.

Kata-kata itu seakan membuka sebuah pintu refleksi: politik bukan sekadar permainan strategi, tetapi soal kedalaman jiwa dan tanggung jawab moral.


2. Politik sebagai Jalan Cinta

Politik bukan sekadar kursi dan angka di bilik suara. Politik adalah jalan cinta, jalan yang seharusnya mempertemukan manusia dengan tanggung jawab terhadap tanah airnya. Tanpa cinta, politik hanya menjadi pasar tempat janji diperjualbelikan. Tetapi dengan cinta, ia bisa menjadi pengabdian.

“Jangan biarkan kata-kata kalian menjadi racun yang menyakiti rakyat. Jangan jadikan amanah yang diberikan kepada kalian sebagai perhiasan di dada, tapi jadikan ia beban mulia di pundakmu. Kekuasaan bukan hadiah, tetapi ujian. Dan setiap ucapanmu akan dipertanyakan oleh sejarah.”

Kalimat itu mengandung pesan bahwa seorang pemimpin sejati bukanlah mereka yang pandai beretorika, tetapi mereka yang menjadikan dirinya wadah kosong tempat rakyat menuangkan harapan. Kekuasaan sejatinya adalah beban yang hanya bisa dipikul dengan hati yang tulus.


3. Luka Manusia, Luka Bangsa

Namun, manusia selalu rapuh di hadapan godaan kekuasaan. Kekuasaan adalah ujian moral yang paling berat, yang bisa memperlihatkan kebaikan sekaligus kebusukan jiwa.

Sang tokoh menegaskan hal itu saat mengingatkan kepala daerah yang diusung partai:
“Bangunlah pemerintahan yang jujur. Bila rakyat mengeluh, jangan kau tutup telinga. Bila mereka marah, jangan kau balas dengan ancaman. Dengarkan mereka sebagaimana seorang ibu mendengarkan anaknya yang menangis di malam hari. Kekuasaan tanpa kasih sayang hanyalah kediktatoran dalam wajah yang berbeda.”

Setiap keluhan rakyat adalah cermin kegagalan moral pemimpin. Setiap jeritan yang diabaikan adalah noda sejarah. Bangsa yang menipu dirinya sendiri, yang menutup mata atas penderitaan rakyatnya, sesungguhnya sedang menapaki jalan kehancuran.


4. Kekuasaan dan Bahasa yang Menipu

Bahasa adalah alat paling tajam dalam politik. Ia bisa menjadi jembatan untuk keadilan, tetapi juga bisa menjadi kedok untuk menutupi kebusukan. Slogan, jargon, dan propaganda sering digunakan untuk meredam kemarahan rakyat, padahal kenyataan tetap pahit.

“Bangsa ini tak butuh slogan baru, tapi butuh pemimpin yang berani menatap kenyataan. Jangan biarkan kebijakan hanya jadi alat menguntungkan segelintir orang. Rakyat bukan pion dalam permainan politik, mereka adalah alasan mengapa negara ini ada. Pemimpin yang menipu rakyatnya sedang menulis namanya di batu nisan sejarah.”

Inilah peringatan yang nyata. Tirani tidak selalu datang dengan wajah bengis. Ia bisa datang dengan senyum ramah, dengan kata “pembangunan”, dengan janji “kesejahteraan”. Namun rakyat tahu bedanya. Mereka merasakan apakah di meja makan mereka terhidang keadilan, ataukah hanya remah yang jatuh dari meja kekuasaan.


5. Politik sebagai Doa dan Peringatan

Di akhir ucapannya, sang tokoh menutup dengan nada yang lebih menyerupai doa:
“Partai Bulan Bintang akan tetap berdiri sebagai rumah bagi mereka yang ingin menjaga persatuan. Politik harus kita jadikan jalan pengabdian, bukan perebutan kuasa yang kotor. Ingatlah, seorang manusia diukur bukan dari apa yang ia miliki, tetapi dari apa yang ia persembahkan. Maka persembahkanlah dirimu untuk rakyat, dan biarkan sejarah menuliskanmu sebagai pelayan, bukan penguasa.”

Dengan cara ini, politik ditempatkan bukan pada ranah strategi semata, tetapi pada ranah spiritual. Politik bukan sekadar perhitungan suara, melainkan doa, sebuah ikhtiar untuk menegakkan martabat manusia.


6. Penutup: Kearifan Jawa

Orang Jawa sudah lama menasihati generasinya dengan pepatah sederhana:

  • “Aja dumeh” – jangan sok kuasa.

  • “Aja kagetan” – jangan mudah panik.

  • “Aja gumunan” – jangan gampang terpesona.

Tiga sikap ini adalah fondasi etika politik. Seorang pemimpin yang dumeh akan lupa bahwa hidup hanyalah “urip mung mampir ngombe” — sekadar singgah, tak ada yang abadi. Seorang pemimpin yang kagetan akan mudah diprovokasi oleh isu. Dan seorang pemimpin yang gumunan akan terjebak oleh gemerlap jabatan, melupakan rakyat yang menderita.

Maka, nasihat orang Jawa “sepi ing pamrih, rame ing gawe” adalah jawaban. Bekerja sungguh-sungguh tanpa pamrih pribadi, itulah inti politik yang sejati. Dengan cara itu, sejarah tidak akan mencatat kita sebagai penguasa yang angkuh, melainkan sebagai pelayan yang rendah hati.


7. Kesimpulan

Refleksi dari Pasuruan ini menegaskan tiga hal penting:

  1. Politik sejati adalah cinta dan pengabdian.

  2. Politik adalah ujian moral yang menentukan arah bangsa.

  3. Politik adalah bahasa: bisa menjadi cahaya atau bisa menjadi kabut penipuan.

Dan semuanya ditutup dengan kearifan Jawa: sederhana, membumi, tapi penuh makna.

Politik Indonesia, jika ingin bertahan, harus kembali ke akar ini: cinta, kejujuran, kesadaran moral, dan kearifan lokal. Tanpa itu, politik hanya akan menjadi panggung pertengkaran tanpa akhir. Dengan itu, politik bisa kembali menjadi jalan pengabdian bagi rakyat.

“Indonesia adalah Jiwa yang Tak Pernah Padam”

Sabtu, Agustus 16, 2025


 

Delapan Puluh Tahun Merdeka: Sebuah Renungan untuk Indonesia

Ada sebuah gambar: kain merah putih bergulung seperti ombak samudera, angka 80 tertera tegas, di bawahnya tercantum tanggal kelahiran bangsa: 17 Agustus 1945 – 17 Agustus 2025. Di sudutnya, Monas berdiri tegak, Borobudur menjulang sunyi, pura Bali menjadi lambang spiritualitas. Dan di atas semua itu, tertulis dengan sederhana: Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80.

Sekilas, ini hanyalah poster peringatan ulang tahun kemerdekaan. Tetapi jika dipandang lebih lama, ia berubah menjadi cermin. Ia memantulkan wajah bangsa, memantulkan luka-luka lama, memantulkan cita-cita yang pernah diucapkan dengan suara lantang 80 tahun lalu, sekaligus memantulkan pertanyaan: apa arti merdeka setelah delapan dekade berlalu?


Kemerdekaan sebagai Bayi yang Baru Lahir

Tujuh belas Agustus 1945 sering digambarkan sebagai hari kelahiran bangsa. Tetapi sesungguhnya, pada hari itu Indonesia bukanlah seorang raksasa perkasa. Ia hanyalah bayi mungil yang baru saja menangis di dunia, setelah melalui proses panjang: penjajahan, perlawanan, pengkhianatan, dan doa yang tak berkesudahan.

Bayi itu lahir dalam keadaan rapuh. Tangisnya keras, tetapi tubuhnya masih ringkih. Jepang belum benar-benar pergi, Belanda ingin kembali, sekutu datang dengan senjata. Di desa-desa, rakyat masih kelaparan, di kota-kota masih penuh bayangan perang. Namun tangisan itu telah terlanjur keluar: “Kami merdeka!” Dan dari tangisan itulah lahir sebuah janji: bahwa bangsa ini akan berdiri di atas kaki sendiri, hidup adil dan sejahtera, tanpa diperintah bangsa lain.

Delapan puluh tahun kemudian, bayi itu kini sudah menjadi orang tua. Rambutnya mungkin memutih, tubuhnya dipenuhi luka, namun matanya masih menyala. Dan seperti seorang tua, ia dituntut bukan sekadar untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk memberi teladan, untuk mewariskan hikmah bagi anak cucunya.


Merah dan Putih: Darah dan Doa

Lihatlah kain merah putih yang bergulung dalam gambar itu. Itu bukan sekadar warna. Merah adalah darah, putih adalah doa.

Merah mengingatkan kita pada mereka yang mati muda di medan perang. Pemuda-pemuda tanpa nama yang tubuhnya rebah di sawah, di hutan, di sungai, dan di jalanan kota. Mereka yang tidak pernah tercatat dalam buku sejarah, tetapi tanpa mereka, negeri ini takkan pernah berdiri.

Putih adalah doa yang tak henti dipanjatkan oleh ibu-ibu di sudut kampung. Doa para kiai di surau, doa para pendeta di gereja, doa para pendeta di pura, doa para biksu di vihara. Doa itu melayang ke langit, memohon agar bangsa yang baru lahir ini tidak segera mati.

Delapan puluh tahun setelah itu, bendera merah putih masih dikibarkan di setiap perayaan. Tetapi pertanyaan yang selalu menghantui: apakah darah dan doa itu sudah terbayar lunas? Apakah bangsa ini benar-benar adil dan makmur, ataukah kita masih menunda janji yang dulu diikrarkan?


Monumen, Candi, dan Pura: Batu-Batu Sejarah

Dalam gambar itu, ada Monas, Borobudur, dan pura Bali. Mereka bukan sekadar hiasan visual, mereka adalah simbol perjalanan bangsa.

Monas berdiri sebagai tanda keberanian bangsa untuk menyatakan diri. Tetapi monumen itu juga bisa menjadi pertanyaan: apa arti kemerdekaan jika masih ada rakyat yang takut bersuara, takut berbeda pendapat, takut melawan ketidakadilan?

Borobudur adalah simbol kejayaan masa lalu. Sebuah karya agung yang membuktikan bahwa bangsa ini pernah besar jauh sebelum republik lahir. Tetapi apakah kebesaran itu bisa kita wujudkan kembali dalam kehidupan nyata, atau hanya tinggal nostalgia?

Pura Bali adalah lambang spiritualitas, harmoni antara manusia dan alam, antara manusia dan sesamanya, antara manusia dan Tuhan. Tetapi apakah harmoni itu masih dijaga, ataukah tanah leluhur kini dijual untuk kepentingan sesaat?

Monumen, candi, pura—semuanya adalah batu bisu. Mereka tidak berbicara, tetapi jika kita mau mendengar, mereka berbisik: “Bangsa ini pernah besar, jangan biarkan ia kecil karena keserakahan anak-anaknya sendiri.”


Sejarah yang Bukan Hanya Milik Pahlawan

Delapan puluh tahun merdeka sering dirayakan dengan mengingat nama-nama besar: Soekarno, Hatta, Sudirman, Sjahrir, Tan Malaka, dan lainnya. Mereka adalah pahlawan, tidak bisa dipungkiri. Tetapi sejarah bangsa ini tidak hanya ditulis oleh mereka.

Ada jutaan nama yang tidak pernah disebut. Petani di pelosok Jawa yang tetap menanam padi meski tanahnya dirampas. Buruh di pelabuhan yang memanggul karung meski tubuhnya penuh luka. Guru-guru di desa yang mengajar dengan kapur yang hampir habis. Nelayan yang tetap melaut meski lautnya diracuni limbah. Mereka inilah yang sebenarnya menopang republik.

Kemerdekaan bukan hanya hasil proklamasi dua orang di Jakarta. Kemerdekaan adalah hasil gotong royong seluruh rakyat. Dan karena itu, setiap kali kita merayakan ulang tahun kemerdekaan, kita harus bertanya: apakah rakyat kecil itu sudah benar-benar merdeka?


Janji yang Masih Harus Ditepati

Kemerdekaan bukan hadiah. Ia direbut dengan darah. Tetapi darah yang sudah ditumpahkan itu datang dengan sebuah janji: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Delapan puluh tahun berlalu, janji itu belum sepenuhnya ditepati. Masih ada anak yang putus sekolah karena miskin. Masih ada petani yang tanahnya dijual murah. Masih ada buruh yang digaji tidak layak. Masih ada rakyat yang rumahnya digusur demi proyek.

Kemerdekaan tidak boleh berhenti pada upacara bendera dan pidato pejabat. Kemerdekaan harus hadir di meja makan rakyat: apakah ada nasi untuk anak-anaknya? Kemerdekaan harus hadir di sekolah-sekolah desa: apakah anak-anak bisa belajar tanpa takut diusir karena tidak mampu bayar? Kemerdekaan harus hadir di ladang, di pabrik, di pasar, di rumah sakit.

Jika itu belum terjadi, maka merdeka kita masih setengah jalan.


Delapan Puluh Tahun sebagai Cermin

Angka 80 itu bukan sekadar angka. Ia adalah cermin. Ia bertanya kepada kita: sudahkah kita lebih dewasa?

Seorang manusia di usia 80 biasanya merenung, menoleh ke belakang, mencari makna. Demikian pula bangsa. Kita harus berani melihat sejarah bukan hanya sebagai kebanggaan, tetapi juga sebagai pelajaran. Kita harus berani mengakui kesalahan: pembantaian, penindasan, pengkhianatan, dan korupsi yang merajalela.

Delapan puluh tahun adalah cukup lama untuk belajar. Tetapi apakah kita sungguh belajar, ataukah kita hanya mengulang kesalahan yang sama?


Rakyat sebagai Penulis Sejarah

Sejarah tidak hanya ditulis oleh pemenang. Sejarah sejati ditulis oleh rakyat, oleh mereka yang hidupnya sederhana, oleh mereka yang tidak pernah masuk televisi.

Rakyat adalah penulis sejati sejarah bangsa ini. Dengan keringatnya, dengan air matanya, dengan doanya. Jika rakyat berhenti bekerja, berhenti berharap, berhenti percaya, maka negeri ini akan runtuh.

Itulah sebabnya, setiap kali kita merayakan kemerdekaan, kita tidak boleh lupa pada rakyat. Karena tanpa rakyat, kemerdekaan hanyalah kata-kata kosong.


Merdeka sebagai Tugas, Bukan Hadiah

Merdeka bukanlah garis akhir. Ia adalah garis awal. Tugas kita bukan sekadar menjaga bendera tetap berkibar, tetapi memastikan bahwa di bawah bendera itu, rakyat hidup layak dan bahagia.

Merdeka berarti rakyat bisa berpikir bebas. Merdeka berarti rakyat bisa beribadah tanpa takut. Merdeka berarti rakyat bisa bekerja tanpa diperbudak. Merdeka berarti anak-anak bisa tertawa tanpa lapar.

Dan tugas itu tidak pernah selesai. Ia harus diperjuangkan setiap hari, oleh setiap orang, di setiap tempat.


Penutup: Delapan Puluh Tahun dan Seterusnya

Hari ini, 17 Agustus 2025, bangsa ini genap berusia 80 tahun. Sebuah usia yang panjang, tetapi juga baru permulaan.

Kita bisa memilih dua jalan. Jalan pertama: kita puas dengan upacara, dengan slogan, dengan angka-angka. Jalan kedua: kita jadikan ulang tahun ini sebagai momen untuk menagih janji, untuk melanjutkan perjuangan, untuk membuat kemerdekaan benar-benar nyata dalam kehidupan rakyat sehari-hari.

Indonesia adalah pohon tua yang akarnya kuat, tetapi daunnya sering digerogoti ulat. Jika kita rawat, ia akan terus tumbuh, menaungi anak cucu. Jika kita biarkan, ia akan layu.

Delapan puluh tahun hanyalah sebuah jeda dalam perjalanan panjang. Dan bangsa ini masih menunggu, apakah anak-anaknya akan menjaga janji, atau justru mengkhianati harapan.

Kemerdekaan adalah tugas. Dan tugas itu kini ada di tangan kita semua.

Meniti Waktu, Menyulam Makna

Minggu, Agustus 03, 2025


Meniti Waktu, Menyulam Makna: Agustus 2025 dalam Bayang Bulan dan Bintang

Di halaman waktu yang terus berputar, bulan Agustus datang kembali mengetuk pintu jiwa kita. Ia tak datang sekadar sebagai angka delapan di almanak, tetapi membawa pesan yang dalam, seolah mengajak kita duduk bersimpuh, merenungi kembali siapa kita, dari mana datangnya, dan hendak ke mana arah gerak langkah kita.

Agustus 2025 ini, sebagaimana terpampang di lembar kalender yang penuh warna dan makna, adalah bulan yang tak hanya menjadi penghubung antara masa lalu dan masa depan, tetapi juga jembatan antara langit dan bumi. Kita hidup dalam dua penanggalan: Masehi dan Hijriah—dua jalur waktu yang saling melengkapi, ibarat dua sayap pada seekor burung yang ingin terbang ke tujuan mulia.

Kalender ini mencatat bahwa bulan Agustus bersisian dengan bulan Shafar dan Rabi’ul Awwal 1447 Hijriah. Dalam waktu Hijriah itu, umat Islam mengenang jejak langkah Rasulullah ﷺ, yang pada bulan Rabi’ul Awwal-lah beliau dilahirkan dan juga berhijrah—dua momen besar yang merajut sejarah perubahan. Maka bagi kader dan simpatisan Partai Bulan Bintang, ini bukan hanya catatan waktu, tetapi pangkal renungan dan gerakan.

Hari-hari dalam kalender kita dihiasi angka-angka Arab nan anggun, menunjukkan tanggal Hijriah—diiringi hari pasaran Jawa yang seakan tak mau kehilangan jejak. Kita hidup dalam tumpukan warisan budaya dan keislaman yang begitu indah—di situlah tugas kita untuk menjaga kearifan lokal tanpa meninggalkan nilai-nilai wahyu.

Tanggal 17 Agustus tertera dengan warna merah menyala: Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Tujuh puluh delapan tahun telah berlalu sejak proklamasi itu dikumandangkan, tetapi getarannya tetap terasa dalam nadi bangsa. Bagi Partai Bulan Bintang Kabupaten Pasuruan, kemerdekaan adalah anugerah dan amanah, bukan hanya untuk dikenang tetapi untuk diperjuangkan kembali dalam wujud keadilan sosial, tegaknya hukum, dan terbitnya kembali marwah umat.

Hari-hari Jum’at diberi warna hijau, seolah ingin mengingatkan kita bahwa Jum’at adalah sayyidul ayyam, rajanya hari. Bukan sekadar akhir pekan, tetapi hari pertemuan antara manusia dan Penciptanya dalam doa dan khutbah yang penuh hikmah. Di hari Jum’at pula, kader-kader Bulan Bintang hendaknya menguatkan tekad dan cita, menebar maslahat, mempererat ukhuwah.

Perjalanan waktu dalam bulan ini ditandai oleh kerapian tatanan, keselarasan angka, dan kesyahduan hijaiyah. Setiap hari yang berlalu bukan sekadar hilang, tetapi menyisakan ruang untuk amal, ruang untuk evaluasi, dan ruang untuk berbuat lebih baik dari sebelumnya.

Seorang ulama besar pernah berkata: “Waktu adalah kehidupan itu sendiri. Bila kau sia-siakan waktu, kau membiarkan hidupmu membusuk dalam kehampaan.” Maka Partai Bulan Bintang, yang menjadikan Islam sebagai asas dan cahaya perjuangan, tidak boleh lalai dalam mengelola waktu dan sejarah. Kita bukan hanya pelintas masa, tetapi juga penyulut perubahan—yang menyalakan pelita dalam gelapnya kebodohan dan ketidakadilan.

Agustus ini, marilah kita maknai sebagai momentum:

  • Untuk menyambung tali silaturahmi di antara sesama.

  • Untuk membenahi niat dan langkah dalam kerja politik dan dakwah.

  • Untuk kembali menengadahkan tangan ke langit, dan menundukkan hati ke bumi.

Karena sesungguhnya, tugas kita bukan hanya memenangkan suara, tetapi memenangkan nurani. Bukan sekadar merebut kekuasaan, tetapi mewujudkan kemaslahatan.


Akhirnya, jika bintang di langit tetap gemerlap meski gelap malam menyelimuti, maka Partai Bulan Bintang pun harus tetap bersinar—di langit Kabupaten Pasuruan, menerangi desa-desa, kampung, hingga pelosok terpencil. Agustus ini bukan sekadar bulan kemerdekaan, tapi juga bulan kebangkitan ruhaniyah dan sosial-politik umat.

Semoga Allah meridhai setiap langkah yang kita ayunkan.


Bayangan Ketika Melihat Foto Calon Legislatif 2024

Senin, Juli 28, 2025

Ketika tangan kita terangkat menekan tautan menuju laman lezen.id tentang Pemilu, yang terbuka bukan sekadar nama dan partai; namun sebuah dunia kecil penuh asa. Di layar ponsel, kita melihat satu per satu wajah-wajah calon legislatif. Dari DPRD kabupaten hingga DPR RI, semuanya tertata rapi: nama, parpol, dan di setiap foto profil terpancar harapan mereka untuk dipilih.


1. Keseriusan dalam Tatap Mata

Kala mata menatap foto calon legislatif, terdengar bisikan samar: “Inilah wajah yang akan kita pertaruhkan amanahnya.” Tak sekadar person, tetapi figur. Ada yang menatap penuh percaya, ada yang senyum dengan ramah, namun semua menyiratkan satu hal: keseriusan — siap bekerja untuk rakyat.


2. Dari Tingkat Daerah ke Tingkat RI

Foto caleg DPRD kabupaten sering sederhana dan akrab. Mereka dekat dengan jalan kampung, tenda pengajian, atau latar belakang warga sekitar—sebuah tanda bahwa mereka bagian dari masyarakat kecil. Sementara calon DPR RI menampilkan formalitas yang lebih tinggi: jas, kemeja, latar belakang bendera atau ruang rapat. Namun tetap menampilkan kedekatan batin: bahwa aspirasi kecil rakyat tetap menjadi fokus.


3. Harmoni Visi-Misi yang Tersirat

Dalam pandangan saya, Buya Hamka pernah bilang, politik yang disenangi ialah politik yang mengalirkan manfaat. Dan ketika kita melihat foto calon legislatif, kita mencari tanda bahwa mereka bukan sekadar wajah slideshow, melainkan pembawa harapan. Di balik layar, visi terpancar—walau tidak tertulis di foto, tapi jiwa ketulusan bisa terbaca bila fotonya menampakkan kebaikan mata dan keteguhan hati.


4. Asa dan Tanggung Jawab

Menjadi caleg bukan sekadar memilih kursi. Foto-foto tersebut bagi saya seperti cermin yang memantulkan janji—janji untuk membela, memberi suara, memperjuangkan keadilan. Semangat Buya Hamka mengingatkan bahwa wakil rakyat sejati hendaknya menjadi pelayan, bukan penguasa. Ketika foto mereka memancarkan kerelaan itu, maka hati kecil ini merasa tenang.


Bayangkan Kita Berdialog dengan Foto itu…

"Wahai saudara yang tampak tenang di gambar itu, mungkinkah engkau mendengar jeritan petani di tepian sungai? Maukah engkau memperjuangkan santri di pondok-pondok kecil? Bila lintas banjar, majelis, bahkan maqbarah umat menjadi tugasmu, apakah kau siap hadirkan ulasan dan solusi yang benar?"


Penutup: Harapan di Balik Foto

Foto seolah bebisikan—apalagi yang dipajang di platform seperti lezen.id. Foto itu menjadi fragmen kecil dari lika-liku perjalanan panjang menuju kursi wakil rakyat. Mari kita lihat lebih dari sekadar raut wajah; lihatlah dedikasi yang ingin mereka tuliskan untuk daerah, masyarakat, dan negara. Seperti syair hidup Buya Hamka—bahwa politik terbaik adalah politik yang menyentuh hati dan berjalan pada nilai ketulusan. 

📍 Untuk melihat Profil Siapa Calon Pilihanmu pada saat itu dan data partai secara lengkap, silakan kunjungi: lezen.id

pasuruan ke timur : jalanmu tak lagi sama

Minggu, Juli 27, 2025






OPS PATUH SEMERU 2025 & PENUTUPAN JALUR GUMITIR: INFO LENGKAP UNTUK WARGA PASURUAN

Halo warga Pasuruan dan sekitarnya!

Kami dari Partai Bulan Bintang Kabupaten Pasuruan turut mengabarkan informasi penting terkait kondisi lalu lintas di jalur menuju wilayah timur Jawa, khususnya bagi masyarakat yang hendak bepergian ke arah Banyuwangi, Situbondo, Bondowoso, maupun kawasan lainnya di ujung timur Pulau Jawa.




🚧 Gumitir Ditutup Total Mulai 24 Juli 2025!

Berdasarkan informasi resmi dari Satlantas Polres Jember dan BBPJN Jawa Timur-Bali, mulai tanggal 24 Juli 2025 hingga 24 September 2025, Jalur Gumitir (Jalur Nasional III) ditutup total. Penutupan ini dilakukan karena sedang ada pekerjaan perbaikan dan pengecoran jalan, khususnya di Tikungan Mbah Singo, KM.SBY.233+500.

Jalur ini memang menjadi urat nadi penting yang menghubungkan Jember dengan Banyuwangi. Maka dari itu, dampaknya cukup signifikan, terutama bagi pengguna jalan dari wilayah Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, Malang, hingga Surabaya yang biasa menuju timur.



🛣️ Solusi: Rute Alternatif Sudah Disiapkan

Rute Alternatif:

  • Dari Surabaya / Pasuruan / Probolinggo ke Banyuwangi:
    • Jalur Pantura: Probolinggo – Situbondo – Banyuwangi
    • Keluar tol di Leces
  • Dari Lumajang ke Banyuwangi:
    • Lewat Probolinggo dan masuk jalur Pantura
  • Untuk sepeda motor:
    • Dari Banyuwangi: lewat Gapura Gunung Gumitir (Mrawan)
    • Dari Jember: lewat Dusun Tanah Manis, Desa Sidomulyo, Kec. Silo

⚠️ OPS PATUH SEMERU 2025

Selain penutupan jalur, juga berlangsung Operasi Patuh Semeru 2025 yang menertibkan kendaraan ODOL (Over Dimension Over Load).

ODOL = Kendaraan yang membawa muatan berlebih, dampaknya bisa merusak jalan dan rawan kecelakaan. Operasi ini fokus pada penindakan kendaraan berat yang melanggar aturan.





🚨 PESAN UNTUK MASYARAKAT PASURUAN

  • Cek rute sebelum berangkat
  • Patuhi aturan lalu lintas
  • Ikuti rambu & arahan petugas
  • Jangan gunakan kendaraan ODOL

📌 KESIMPULAN

Penutupan jalur ini demi perbaikan yang lebih baik. Partai Bulan Bintang Kabupaten Pasuruan mengajak masyarakat untuk tetap tertib berlalu lintas dan menjaga keselamatan bersama.

Informasi ini disampaikan sebagai bentuk kepedulian dan pengabdian PBB Kabupaten Pasuruan kepada masyarakat.


Langit belum sepenuhnya terang. Asap knalpot masih mengepul tipis di perempatan. Lalu lintas lengang, tapi hati para sopir tak lagi ringan. Jalan yang biasa mereka lewati kini tak bisa mereka sentuh. Gumitir — jalan lama yang menghubungkan Jember dan Banyuwangi — ditutup. Tak ada kompromi. Tak ada tawar-menawar.

Banyak yang terdiam di warung kopi pinggir jalan. Mereka menatap ke arah timur. Menuju Jawa yang jauh. Menuju jalur yang sekarang memutar. Semua jadi lebih lambat, lebih mahal, lebih lelah. Tapi tak bisa dihindari. Jalan diperbaiki karena harus. Demi keselamatan. Demi nyawa yang tak boleh lagi terenggut hanya karena satu tikungan tak beraspal.

Operasi Patuh Digelar. Bukan Sekadar Razia.

Polisi tak hanya berjaga. Mereka mengingatkan. Menindak. Memberi arah. Operasi Patuh 2024 bukan untuk menakuti. Ini bukan soal tilang semata. Ini tentang menjaga agar tidak ada lagi yang hilang di tikungan maut. Jalanan bukan hanya aspal dan marka. Jalan adalah rumah bagi mereka yang hidup dari setir, dari pedal gas, dari angin yang menyapa lewat kaca depan.

Para pengantar dari Pasuruan yang biasa membawa keluarga ke Jember atau Banyuwangi — kini harus memikirkan rute baru. Waktu tempuh bertambah. BBM membengkak. Sewa naik. Tapi keselamatan adalah harga yang tak bisa ditawar.

Truk dan Bus Dibatasi. Rute Dialihkan.

Pemerintah tak tinggal diam. Jalur dialihkan ke jalur lintas utara. Truk besar diminta tidak lewat jalur lama. Jalan yang curam dan sempit tak lagi menampung roda-roda raksasa. Bahkan untuk kendaraan pribadi, semua diminta waspada. Sopir lama bilang, Gumitir itu punya aturan sendiri. Kalau kau nekat, dia akan menelanmu diam-diam.

DPC Partai Bulan Bintang Kabupaten Pasuruan turut menyuarakan hal ini. Lewat publikasi informasi resmi dari KPU dan Polri, mereka mengingatkan masyarakat: jalan bukan tempat berjudi nyawa.

Kami tahu — keputusan ini menyulitkan banyak pihak. Tapi keselamatan harus lebih dulu.

Pemilu Telah Usai. Tapi Jalan Ini Masih Jadi Medan Tempur.

2024 menyisakan kisah politik. Tapi jalanan tak peduli siapa yang menang. Jalan hanya tahu satu hal: siapa yang tak hati-hati, akan kalah. Di Gumitir dan jalur selatan lainnya, bukan politik yang menentukan nasib — tapi setir, rem, dan waktu yang cukup untuk menghindar.

Kami ingin semua pulang. Kami ingin tak ada lagi berita kehilangan di balik tikungan sepi. Kami ingin Pasuruan ke timur kembali terang — tapi dengan jalan yang benar.

Karena jalanmu tak lagi sama. Dan mungkin, itu hal terbaik yang pernah terjadi.


#PBBKabPasuruan #GumitirDitutup #PatuhSemeru2025 #PanturaAman

ads 728x90 B
Diberdayakan oleh Blogger.