Politik, Cinta, dan Luka: Sebuah Renungan dari Pasuruan
1. Suara dari Gubuk Pasuruan
Di Kabupaten Pasuruan, seorang tokoh dari DPC Partai Bulan Bintang duduk di hadapan kader masyarakat. Ucapannya tidak lahir dari ambisi, melainkan dari cinta dan keprihatinan. Ia berbicara bukan sebagai politisi yang haus kuasa, tetapi sebagai seorang anak bangsa yang menyadari betapa rapuhnya negeri ini jika ditinggalkan tanpa ketenangan dan kedewasaan berpolitik.
Di jalan yang penuh dengan suara dan kabar yang saling bertabrakan katanya ada bisikan kebenaran yang sering kali tertelan oleh gemuruh kebohongan. Jangan biarkan hati kalian terbakar oleh api fitnah. Bersabarlah, sebab kedewasaan berpolitik bukan diukur dari seberapa cepat kalian bereaksi, melainkan dari seberapa kuat kalian mampu menahan diri.
Kata-kata itu seakan membuka sebuah pintu refleksi: politik bukan sekadar permainan strategi, tetapi soal kedalaman jiwa dan tanggung jawab moral.
2. Politik sebagai Jalan Cinta
Politik bukan sekadar kursi dan angka di bilik suara. Politik adalah jalan cinta, jalan yang seharusnya mempertemukan manusia dengan tanggung jawab terhadap tanah airnya. Tanpa cinta, politik hanya menjadi pasar tempat janji diperjualbelikan. Tetapi dengan cinta, ia bisa menjadi pengabdian.
“Jangan biarkan kata-kata kalian menjadi racun yang menyakiti rakyat. Jangan jadikan amanah yang diberikan kepada kalian sebagai perhiasan di dada, tapi jadikan ia beban mulia di pundakmu. Kekuasaan bukan hadiah, tetapi ujian. Dan setiap ucapanmu akan dipertanyakan oleh sejarah.”
Kalimat itu mengandung pesan bahwa seorang pemimpin sejati bukanlah mereka yang pandai beretorika, tetapi mereka yang menjadikan dirinya wadah kosong tempat rakyat menuangkan harapan. Kekuasaan sejatinya adalah beban yang hanya bisa dipikul dengan hati yang tulus.
3. Luka Manusia, Luka Bangsa
Namun, manusia selalu rapuh di hadapan godaan kekuasaan. Kekuasaan adalah ujian moral yang paling berat, yang bisa memperlihatkan kebaikan sekaligus kebusukan jiwa.
Sang tokoh menegaskan hal itu saat mengingatkan kepala daerah yang diusung partai:
“Bangunlah pemerintahan yang jujur. Bila rakyat mengeluh, jangan kau tutup telinga. Bila mereka marah, jangan kau balas dengan ancaman. Dengarkan mereka sebagaimana seorang ibu mendengarkan anaknya yang menangis di malam hari. Kekuasaan tanpa kasih sayang hanyalah kediktatoran dalam wajah yang berbeda.”
Setiap keluhan rakyat adalah cermin kegagalan moral pemimpin. Setiap jeritan yang diabaikan adalah noda sejarah. Bangsa yang menipu dirinya sendiri, yang menutup mata atas penderitaan rakyatnya, sesungguhnya sedang menapaki jalan kehancuran.
4. Kekuasaan dan Bahasa yang Menipu
Bahasa adalah alat paling tajam dalam politik. Ia bisa menjadi jembatan untuk keadilan, tetapi juga bisa menjadi kedok untuk menutupi kebusukan. Slogan, jargon, dan propaganda sering digunakan untuk meredam kemarahan rakyat, padahal kenyataan tetap pahit.
“Bangsa ini tak butuh slogan baru, tapi butuh pemimpin yang berani menatap kenyataan. Jangan biarkan kebijakan hanya jadi alat menguntungkan segelintir orang. Rakyat bukan pion dalam permainan politik, mereka adalah alasan mengapa negara ini ada. Pemimpin yang menipu rakyatnya sedang menulis namanya di batu nisan sejarah.”
Inilah peringatan yang nyata. Tirani tidak selalu datang dengan wajah bengis. Ia bisa datang dengan senyum ramah, dengan kata “pembangunan”, dengan janji “kesejahteraan”. Namun rakyat tahu bedanya. Mereka merasakan apakah di meja makan mereka terhidang keadilan, ataukah hanya remah yang jatuh dari meja kekuasaan.
5. Politik sebagai Doa dan Peringatan
Di akhir ucapannya, sang tokoh menutup dengan nada yang lebih menyerupai doa:
“Partai Bulan Bintang akan tetap berdiri sebagai rumah bagi mereka yang ingin menjaga persatuan. Politik harus kita jadikan jalan pengabdian, bukan perebutan kuasa yang kotor. Ingatlah, seorang manusia diukur bukan dari apa yang ia miliki, tetapi dari apa yang ia persembahkan. Maka persembahkanlah dirimu untuk rakyat, dan biarkan sejarah menuliskanmu sebagai pelayan, bukan penguasa.”
Dengan cara ini, politik ditempatkan bukan pada ranah strategi semata, tetapi pada ranah spiritual. Politik bukan sekadar perhitungan suara, melainkan doa, sebuah ikhtiar untuk menegakkan martabat manusia.
6. Penutup: Kearifan Jawa
Orang Jawa sudah lama menasihati generasinya dengan pepatah sederhana:
-
“Aja dumeh” – jangan sok kuasa.
-
“Aja kagetan” – jangan mudah panik.
-
“Aja gumunan” – jangan gampang terpesona.
Tiga sikap ini adalah fondasi etika politik. Seorang pemimpin yang dumeh akan lupa bahwa hidup hanyalah “urip mung mampir ngombe” — sekadar singgah, tak ada yang abadi. Seorang pemimpin yang kagetan akan mudah diprovokasi oleh isu. Dan seorang pemimpin yang gumunan akan terjebak oleh gemerlap jabatan, melupakan rakyat yang menderita.
Maka, nasihat orang Jawa “sepi ing pamrih, rame ing gawe” adalah jawaban. Bekerja sungguh-sungguh tanpa pamrih pribadi, itulah inti politik yang sejati. Dengan cara itu, sejarah tidak akan mencatat kita sebagai penguasa yang angkuh, melainkan sebagai pelayan yang rendah hati.
7. Kesimpulan
Refleksi dari Pasuruan ini menegaskan tiga hal penting:
-
Politik sejati adalah cinta dan pengabdian.
-
Politik adalah ujian moral yang menentukan arah bangsa.
-
Politik adalah bahasa: bisa menjadi cahaya atau bisa menjadi kabut penipuan.
Dan semuanya ditutup dengan kearifan Jawa: sederhana, membumi, tapi penuh makna.
Politik Indonesia, jika ingin bertahan, harus kembali ke akar ini: cinta, kejujuran, kesadaran moral, dan kearifan lokal. Tanpa itu, politik hanya akan menjadi panggung pertengkaran tanpa akhir. Dengan itu, politik bisa kembali menjadi jalan pengabdian bagi rakyat.