Delapan Puluh Tahun Merdeka: Sebuah Renungan untuk Indonesia
Ada sebuah gambar: kain merah putih bergulung seperti ombak samudera, angka 80 tertera tegas, di bawahnya tercantum tanggal kelahiran bangsa: 17 Agustus 1945 – 17 Agustus 2025. Di sudutnya, Monas berdiri tegak, Borobudur menjulang sunyi, pura Bali menjadi lambang spiritualitas. Dan di atas semua itu, tertulis dengan sederhana: Dirgahayu Kemerdekaan Republik Indonesia ke-80.
Sekilas, ini hanyalah poster peringatan ulang tahun kemerdekaan. Tetapi jika dipandang lebih lama, ia berubah menjadi cermin. Ia memantulkan wajah bangsa, memantulkan luka-luka lama, memantulkan cita-cita yang pernah diucapkan dengan suara lantang 80 tahun lalu, sekaligus memantulkan pertanyaan: apa arti merdeka setelah delapan dekade berlalu?
Kemerdekaan sebagai Bayi yang Baru Lahir
Tujuh belas Agustus 1945 sering digambarkan sebagai hari kelahiran bangsa. Tetapi sesungguhnya, pada hari itu Indonesia bukanlah seorang raksasa perkasa. Ia hanyalah bayi mungil yang baru saja menangis di dunia, setelah melalui proses panjang: penjajahan, perlawanan, pengkhianatan, dan doa yang tak berkesudahan.
Bayi itu lahir dalam keadaan rapuh. Tangisnya keras, tetapi tubuhnya masih ringkih. Jepang belum benar-benar pergi, Belanda ingin kembali, sekutu datang dengan senjata. Di desa-desa, rakyat masih kelaparan, di kota-kota masih penuh bayangan perang. Namun tangisan itu telah terlanjur keluar: “Kami merdeka!” Dan dari tangisan itulah lahir sebuah janji: bahwa bangsa ini akan berdiri di atas kaki sendiri, hidup adil dan sejahtera, tanpa diperintah bangsa lain.
Delapan puluh tahun kemudian, bayi itu kini sudah menjadi orang tua. Rambutnya mungkin memutih, tubuhnya dipenuhi luka, namun matanya masih menyala. Dan seperti seorang tua, ia dituntut bukan sekadar untuk bertahan hidup, tetapi juga untuk memberi teladan, untuk mewariskan hikmah bagi anak cucunya.
Merah dan Putih: Darah dan Doa
Lihatlah kain merah putih yang bergulung dalam gambar itu. Itu bukan sekadar warna. Merah adalah darah, putih adalah doa.
Merah mengingatkan kita pada mereka yang mati muda di medan perang. Pemuda-pemuda tanpa nama yang tubuhnya rebah di sawah, di hutan, di sungai, dan di jalanan kota. Mereka yang tidak pernah tercatat dalam buku sejarah, tetapi tanpa mereka, negeri ini takkan pernah berdiri.
Putih adalah doa yang tak henti dipanjatkan oleh ibu-ibu di sudut kampung. Doa para kiai di surau, doa para pendeta di gereja, doa para pendeta di pura, doa para biksu di vihara. Doa itu melayang ke langit, memohon agar bangsa yang baru lahir ini tidak segera mati.
Delapan puluh tahun setelah itu, bendera merah putih masih dikibarkan di setiap perayaan. Tetapi pertanyaan yang selalu menghantui: apakah darah dan doa itu sudah terbayar lunas? Apakah bangsa ini benar-benar adil dan makmur, ataukah kita masih menunda janji yang dulu diikrarkan?
Monumen, Candi, dan Pura: Batu-Batu Sejarah
Dalam gambar itu, ada Monas, Borobudur, dan pura Bali. Mereka bukan sekadar hiasan visual, mereka adalah simbol perjalanan bangsa.
Monas berdiri sebagai tanda keberanian bangsa untuk menyatakan diri. Tetapi monumen itu juga bisa menjadi pertanyaan: apa arti kemerdekaan jika masih ada rakyat yang takut bersuara, takut berbeda pendapat, takut melawan ketidakadilan?
Borobudur adalah simbol kejayaan masa lalu. Sebuah karya agung yang membuktikan bahwa bangsa ini pernah besar jauh sebelum republik lahir. Tetapi apakah kebesaran itu bisa kita wujudkan kembali dalam kehidupan nyata, atau hanya tinggal nostalgia?
Pura Bali adalah lambang spiritualitas, harmoni antara manusia dan alam, antara manusia dan sesamanya, antara manusia dan Tuhan. Tetapi apakah harmoni itu masih dijaga, ataukah tanah leluhur kini dijual untuk kepentingan sesaat?
Monumen, candi, pura—semuanya adalah batu bisu. Mereka tidak berbicara, tetapi jika kita mau mendengar, mereka berbisik: “Bangsa ini pernah besar, jangan biarkan ia kecil karena keserakahan anak-anaknya sendiri.”
Sejarah yang Bukan Hanya Milik Pahlawan
Delapan puluh tahun merdeka sering dirayakan dengan mengingat nama-nama besar: Soekarno, Hatta, Sudirman, Sjahrir, Tan Malaka, dan lainnya. Mereka adalah pahlawan, tidak bisa dipungkiri. Tetapi sejarah bangsa ini tidak hanya ditulis oleh mereka.
Ada jutaan nama yang tidak pernah disebut. Petani di pelosok Jawa yang tetap menanam padi meski tanahnya dirampas. Buruh di pelabuhan yang memanggul karung meski tubuhnya penuh luka. Guru-guru di desa yang mengajar dengan kapur yang hampir habis. Nelayan yang tetap melaut meski lautnya diracuni limbah. Mereka inilah yang sebenarnya menopang republik.
Kemerdekaan bukan hanya hasil proklamasi dua orang di Jakarta. Kemerdekaan adalah hasil gotong royong seluruh rakyat. Dan karena itu, setiap kali kita merayakan ulang tahun kemerdekaan, kita harus bertanya: apakah rakyat kecil itu sudah benar-benar merdeka?
Janji yang Masih Harus Ditepati
Kemerdekaan bukan hadiah. Ia direbut dengan darah. Tetapi darah yang sudah ditumpahkan itu datang dengan sebuah janji: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Delapan puluh tahun berlalu, janji itu belum sepenuhnya ditepati. Masih ada anak yang putus sekolah karena miskin. Masih ada petani yang tanahnya dijual murah. Masih ada buruh yang digaji tidak layak. Masih ada rakyat yang rumahnya digusur demi proyek.
Kemerdekaan tidak boleh berhenti pada upacara bendera dan pidato pejabat. Kemerdekaan harus hadir di meja makan rakyat: apakah ada nasi untuk anak-anaknya? Kemerdekaan harus hadir di sekolah-sekolah desa: apakah anak-anak bisa belajar tanpa takut diusir karena tidak mampu bayar? Kemerdekaan harus hadir di ladang, di pabrik, di pasar, di rumah sakit.
Jika itu belum terjadi, maka merdeka kita masih setengah jalan.
Delapan Puluh Tahun sebagai Cermin
Angka 80 itu bukan sekadar angka. Ia adalah cermin. Ia bertanya kepada kita: sudahkah kita lebih dewasa?
Seorang manusia di usia 80 biasanya merenung, menoleh ke belakang, mencari makna. Demikian pula bangsa. Kita harus berani melihat sejarah bukan hanya sebagai kebanggaan, tetapi juga sebagai pelajaran. Kita harus berani mengakui kesalahan: pembantaian, penindasan, pengkhianatan, dan korupsi yang merajalela.
Delapan puluh tahun adalah cukup lama untuk belajar. Tetapi apakah kita sungguh belajar, ataukah kita hanya mengulang kesalahan yang sama?
Rakyat sebagai Penulis Sejarah
Sejarah tidak hanya ditulis oleh pemenang. Sejarah sejati ditulis oleh rakyat, oleh mereka yang hidupnya sederhana, oleh mereka yang tidak pernah masuk televisi.
Rakyat adalah penulis sejati sejarah bangsa ini. Dengan keringatnya, dengan air matanya, dengan doanya. Jika rakyat berhenti bekerja, berhenti berharap, berhenti percaya, maka negeri ini akan runtuh.
Itulah sebabnya, setiap kali kita merayakan kemerdekaan, kita tidak boleh lupa pada rakyat. Karena tanpa rakyat, kemerdekaan hanyalah kata-kata kosong.
Merdeka sebagai Tugas, Bukan Hadiah
Merdeka bukanlah garis akhir. Ia adalah garis awal. Tugas kita bukan sekadar menjaga bendera tetap berkibar, tetapi memastikan bahwa di bawah bendera itu, rakyat hidup layak dan bahagia.
Merdeka berarti rakyat bisa berpikir bebas. Merdeka berarti rakyat bisa beribadah tanpa takut. Merdeka berarti rakyat bisa bekerja tanpa diperbudak. Merdeka berarti anak-anak bisa tertawa tanpa lapar.
Dan tugas itu tidak pernah selesai. Ia harus diperjuangkan setiap hari, oleh setiap orang, di setiap tempat.
Penutup: Delapan Puluh Tahun dan Seterusnya
Hari ini, 17 Agustus 2025, bangsa ini genap berusia 80 tahun. Sebuah usia yang panjang, tetapi juga baru permulaan.
Kita bisa memilih dua jalan. Jalan pertama: kita puas dengan upacara, dengan slogan, dengan angka-angka. Jalan kedua: kita jadikan ulang tahun ini sebagai momen untuk menagih janji, untuk melanjutkan perjuangan, untuk membuat kemerdekaan benar-benar nyata dalam kehidupan rakyat sehari-hari.
Indonesia adalah pohon tua yang akarnya kuat, tetapi daunnya sering digerogoti ulat. Jika kita rawat, ia akan terus tumbuh, menaungi anak cucu. Jika kita biarkan, ia akan layu.
Delapan puluh tahun hanyalah sebuah jeda dalam perjalanan panjang. Dan bangsa ini masih menunggu, apakah anak-anaknya akan menjaga janji, atau justru mengkhianati harapan.
Kemerdekaan adalah tugas. Dan tugas itu kini ada di tangan kita semua.
Tidak ada komentar: